Naskah Chris Terrio dan David S. Goyer lebih pintar dalam menyentil instalasi DC Extended Universe berikutnya dibanding menyajikan narasi sungguhan.

�That's how it starts. The fever, the rage, the feeling of powerlessness that turns good men... cruel.�Melihat banyaknya korban jiwa yang berjatuhan setelah pertarungan klimaks dalam Man of Steel, sutradara Zack Snyder sebaiknya punya alasan kenapa salah satu pahlawan yang paling humanis dalam "sejarah" superhero tampak tak terlalu memikirkan konsekuensi dari tindakannya. Snyder punya alasan yang bagus dalam film lanjutannya ini. Bahkan jika dipandang dari perspektif yang skeptis, eksistensi Batman v Superman: Dawn of Justice hanyalah alasan bagi Snyder dan Warner Bros untuk memperkenalkan karakter baru dan mempersiapkan pondasi bagi lusinan sekuel.
� Alfred
Salah satu alasan saya bilang begitu adalah naskah Chris Terrio dan David S. Goyer yang lebih pintar dalam menyentil instalasi DC Extended Universe berikutnya dibanding menyajikan narasi sungguhan. Hasil kerja mereka yang menomorduakan perkembangan karakter di atas metafora mengenai ketuhanan setidaknya tertutupi berkat imej dari dua ikon pahlawan super ini telah begitu populer. Kebanyakan dari kita sudah tahu bahwa Superman adalah manusia super dengan pandangan hidup yang polos yang menyamar sebagai wartawan, sementara Batman adalah manusia biasa (tapi superkaya) yang mengenal sisi gelap dunia. Kontradiksi inilah yang menjadi katalis bagi pertarungan keduanya.
Kita mungkin sudah melihatnya berkali-kali, namun film ini lagi-lagi dibuka dengan kilasan masa lalu Bruce Wayne, dimana ayah dan ibunya ditembak di salah satu lorong di kota Gotham. Ia melarikan diri di tengah acara pemakaman, lalu jatuh ke dalam gua penuh kelelawar. Yang menjadi pembeda adalah bagaimana cara Bruce keluar dari gua tersebut; ia diangkat (secara harfiah) oleh puluhan kelelawar. Tentu saja, saya tahu ini hanyalah simbolisme. Namun Snyder seolah menekankan bahwa semestanya lebih lekat pada mistisme dibandingkan The Dark Knight-nya Nolan pada realisme.
Singkat cerita, kita dibawa kembali pada pertarungan bombastis antara Superman dengan Zod. Hanya saja, kali ini dilihat dari sudut padang orang sipil, termasuk diantaranya ada Bruce Wayne (Ben Affleck). Sedikit mengejutkan mengetahui bahwa Gotham adalah kota tetangga Metropolis. Adegan ini menjadi yang paling menarik dari film secara keseluruhan. Kehancuran yang ditimbulkan kedua manusia Krypton ini benar-benar masif dan wajar saja memancing amarah Batman. Ia mempersiapkan diri untuk menetralisir kekuatan Ilahi tersebut.
Sementara itu, Clark Kent (Henry Cavill) juga merasa terganggu dengan aktivitas Batman yang secara brutal menangani para kriminal. Bicara soal brutalitas, Batman disini jauh lebih agresif dari apa yang selama ini kita lihat. Ia tak segan menikam, menembak bahkan mencap musuhnya dengan Batarang (tolong bawa dia ke psikiater). Agar menjadi pertarungan yang seimbang, ditambahkanlah kehadiran Lex Luthor (Jesse Eisenberg) yang kebetulan tengah meneliti batu Kriptonit yang katanya bisa mendegradasi sel manusia Kripton. Saya tak perlu memberitahu bahwa Luthor ada di pihak antagonis, namun penampilan Eisenberg harus anda nilai sendiri; ia terlihat menjengkelkan atau memberikan pendekatan yang segar, tergantung selera anda.
Bagi anda yang sudah menonton Man of Steel, pastinya sudah bisa memprediksi bahwa BvS akan punya atmosfer suram dan murung. Dan wow, film ini benar-benar gelap dan depresif. Brightness gambar mungkin diturunkan habis-habisan dan semua karakter terlihat depresi sepanjang film. Bahkan momen kebersamaan antara Clark dengan Lois Lane (Amy Adams) atau flirting antara Bruce dengan wanita misterius nan menawan (Gal Gadot � tampil memikat meski singkat dan yah, kita bisa melihatnya beraksi dalam kostum penuh) tak punya percikan.
Sama seperti 300 atau Watchmen, BvS menjadi wadah bagi Snyder untuk menyajikan visual imagery yang superior meski minim substansi. Saat Superman melakukan dua usaha penyelamatan, tampak gestur rakyat sipil yang seakan-akan memuja sosok Superman sebagai Tuhan. Sebagai salah satu penonton 2 film animasi The Dark Knight Returns, saya bisa mengkonfimasi beberapa adegan kunci yang berhasil dikreasi ulang oleh Snyder dalam konfrontasi puncak antara Batman dengan Superman. Ada pula referensi mengenai Doomsday yang... ah nanti spoiler.
Meski berdurasi dua setengah jam, BvS tetap menjadi film yang penuh sesak dengan banyaknya karakter dan plot yang njelimet. Tujuannya adalah menggabungkan dua karakter ini ke dalam satu film, namun peleburan keduanya terkesan canggung, apalagi di paruh awal. Selama dua pertiga film, plot berjalan lambat dengan dialog yang melelahkan dan kilasan mimpi buruk (atau masa depan?) yang terasa membingungkan. Pemberian judul dengan nama Batman terlebih dahulu, toh ternyata bukan karena alasan alfabetis. Batman mendapat porsi yang lebih dominan, meski naskah masih membatasi dimensi karakternya. Paling tidak, Affleck berhasil mementalkan skeptisme dari penggemar yang meragukan kapabilitasnya sebagai sang Ksatria Malam.
Jadi siapa yang menang? Saya balik bertanya: apa itu penting? Film ini sudah bisa dipastikan akan memuaskan penggemar semesta DC. Pertarungan "Day vs Night" adalah pertunjukkan yang sangat seru, meski perang klimaksnya sendiri harus memakai formula generik film aksi, dimana sesuatu harus meledak secara spektakuler diiringi dengan suara menggelegar dan anda tak tahu apa yang terjadi di antara serangan sporadis efek CGI bagi mata dan akal sehat anda. Untungnya, Snyder bersama editor David Brenner berhasil menjaga agar sekuensnya mudah diikuti. �UP
Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem
'Batman v Superman: Dawn of Justice' | TEGUH RASPATI | 24 Maret 2016


Sutradara Zack Snyder
Penulis Chris Terrio, David S. Goyer
Pemain Ben Affleck, Henry Cavill, Amy Adams
Penulis Chris Terrio, David S. Goyer
Pemain Ben Affleck, Henry Cavill, Amy Adams
Tidak ada komentar:
Posting Komentar