Mengkilap, epik dan spektakuler. Namun sebagai penonton awam saya merasa 'Warcraft' seperti permen karet manis yang sulit dikunyah.

�I've led thousands of warriors into battle, but I fear being a father. Does that make me a leader, or a coward?�Sedikit banyak Warcraft menimbulkan keinginan untuk memainkan game-nya. Bukan karena film ini sukses merayu saya menjadi gamer, melainkan agar saya benar-benar bisa mengerti apa yang sebenarnya terjadi disini. Iya iya, ceritanya mengenai peperangan antara manusia dengan orc. Namun sulit untuk melahap semua istilah magis, latar belakang karakter atau sense of place saat filmnya lebih mengedepankan aksi tanpa eksposisi yang memadai.
� Durotan
Warcraft adalah salah satu game strategi online terpopuler di dunia. Kabar menyebutkan bahwa game ini terinspirasi dari semesta fantasi J.R.R. Tolkien. Dan benar saja, pengalaman yang kita dapatkan dari The Lord of the Rings akan banyak membantu. Orang-orangnya tak hanya dibagi berdasarkan ras (manusia, orc, elf, dwarf, dst) melainkan juga profesi: petinggi kerajaan, ksatria, penyihir dan rakyat jelata. Jika familiar dengan LOTR, mantra sihir dan makhluk mistis takkan membuat kita heran lagi.
Kalau anda ingat, LOTR menggambarkan orc sebagai monster keji tanpa perikemanusiaan yang menjadi antagonis murni. Meski secara konsep masih berhutang pada Tolkien, representasi orc dalam Warcraft sedikit berbeda. Kecuali fisik dan perilaku yang sedikit buas, orc mirip dengan manusia. Mereka intelek dan empatik tapi ada juga yang bersifat buruk. Premis ini menawarkan keseimbangan perspektif dari kedua ras yang nantinya akan berperang ini.
Orc disini juga berada di dimensi yang berbeda. Manusia tinggal di negeri bernama Azeroth bersama dengan dwarf dan elf sedangkan orc hidup di Draenor. Kehancuran di Draenor memaksa orc untuk menjajah Azeroth. Penyihir desa orc, Gul'dan (Daniel Wu) membuka gerbang sihir sebagai perlintasan antara dua dunia agar orc bisa menginvasi manusia. Namun pemimpin desa, Durotan (Toby Kebbell) mulai mempertanyakan metode kekerasan yang mereka ambil.
Untuk menanggulangi hal ini, raja manusia (saya harus menyebutnya begitu agar tidak menimbulkan kerancuan), Llane (Dominic Cooper) menugaskan komandan tertinggi yang sekaligus adalah adik iparnya, Anduin Lothar (Travis Fimmel) untuk meminta bantuan Sang Penjaga, Medivh (Ben Foster) � bayangkan Gandalf yang lebih muda, lebih serius, kurang kompeten dan sering galau.
Paruh pertama, kedua ras ini sudah beradu senjata, meski belum habis-habisan mengingat gerbang yang belum sepenuhnya terbuka. Untuk menjembatani komunikasi antara keduanya sekaligus menjadi jalan pintas untuk menjelaskan latar belakang pada penonton, disediakan karakter Garona (Paula Patton), separuh manusia-separuh orc yang dengan praktis bisa berbahasa manusia dan mengambil tempat di sisi Lothar. Durotan ingin berkoalisi dengan manusia untuk menumbangkan Gul'dan. Di pihak manusia, ada pula yang punya agenda tersendiri.
Secara visual, Warcraft mungkin adalah adaptasi game paling impresif sejauh ini. Sutradara Duncan Jones dan para pekerja efek spesial mengkonversi setiap sen dari bujetnya yang mencapai $100 juta menjadi aksesoris, senjata, kerutan dan otot para orc yang mendetail di setiap adegan. Untuk itu, mereka mungkin juga mengambil sebagian bujet untuk pembangunan plot, melihat terbatasnya karakterisasi atau bobot emosional dari setiap adegan, bahkan saat beberapa tokoh vital mengalami nasib tragis.
Jones pernah menelurkan Moon dan Source Code, film minimalis yang fokus pada elemen sci-fi tanpa pernah meminggirkan karakter. Usahanya bersama Charles Leavitt menciptakan narasi dari materi yang boleh disebut tak punya basis cerita selain konsep patut diapresiasi, meski poin plotnya generik. Ia berkutat dengan terlalu banyak karakter dan subplot disini, mustahil bagi penonton untuk benar-benar terikat dengan setiap bagiannya. Cerita meloncat dari satu bagian ke bagian lain dengan canggung.
Menjadi salah satu karakter utama, Fimmel kurang karismatik sebagai komandan pasukan. Ben Schetzner bermain sebagai penyihir pemula yang lebih dari sekedar comic relief, berbanding terbalik dengan Foster yang motifnya telah tertebak sejak awal. Patton yang mendapat peran dengan konflik paling kompleks, teralihkan dengan dandanannya yang tak meyakinkan (sekadar bermodal cat tubuh hijau dan taring palsu) serta tertelan oleh hiruk pikuk sekuens perang di akhir. Pengecualian bagi Kebbell yang meski dibungkus dengan motion-capture, mampu menampilkan kehangatan dan dilema dari Durotan.
Warcraft adalah film yang (saya asumsikan) hanya dibuat untuk dan oleh penggemar game-nya. Kemasan pengejawantahan layar lebar ini mengkilap, epik dan spektakuler. Kita bisa melihat ambisi serta kecintaan Jones pada filmnya. Gamer-nya mungkin punya opini yang berbeda, namun sebagai penonton awam, saya merasa Warcraft seperti permen karet yang manis tapi sulit dikunyah. �UP
Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem
'Warcraft' | TEGUH RASPATI | 27 Mei 2016


Sutradara Duncan Jones
Penulis Charles Leavitt, Duncan Jones
Pemain Travis Fimmel, Paula Patton, Ben Foster
Penulis Charles Leavitt, Duncan Jones
Pemain Travis Fimmel, Paula Patton, Ben Foster
Tidak ada komentar:
Posting Komentar