Adbox

Jumat, 20 Mei 2016

Review Film: 'Green Room' (2016)

Meski punya estetika visual ala arthouse, namun 'Green Room' pada dasarnya adalah horor-slasher, hanya saja dengan injeksi adrenalin berkualitas.

�It's not a party. It's a movement.�
� Darcy
Green Room adalah istilah bagi ruang tunggu di belakang panggung yang digunakan oleh artis untuk beristirahat atau mempersiapkan gig-nya sebelum tampil. Sesuai dengan judul filmnya, sutradara Jeremy Saulnier banyak memakai nuansa warna hijau, entah itu melalui setting di tengah hutan yang rimbun atau cahaya lampu sorot klub. Tahukah anda bahwa warna komplementer dari hijau adalah merah? Mungkin ini hanya kebetulan yang tak disengaja. Di separuh Green Room, "ruang hijau" berubah menjadi "ruang merah" gara-gara semburat darah.

Green Room punya premis sederhana yang jamak dipakai dalam film horor-slasher, dimana anak muda yang serampangan terjebak di suatu lokasi terisolir sementara bahaya yang mengancam maut mengintai di luar. Namun kecakapan Saulnier mengontrol semua elemen dalam filmnya, menjadikan Green Room lebih dari sekadar eksploitasi sadisme. Eksekusinya tenang dan terukur.

Jangan salah, film ini masih menjadi parade bunuh-bunuhan yang bukan makanan ringan bagi yang berperut lemah. Namun, sama seperti film Saulnier sebelumnya Blue Ruin, ia peduli dengan pembangunan tensi. Selama 95 menit, film ini memainkan intensitas, menjaga penonton tetap tegang sepanjang film. Untuk urusan brutalitas, Green Room jauh lebih edan � ada pistol, shotgun, pisau, golok, hingga anjing yang siap mengunyah manusia sampai tewas. Keseruan ini sayangnya harus ternodai dengan regulasi sensor-demi-kearifan-lokal-karena-kita-adalah-bangsa-beradab-tak-peduli-filmnya-sudah-diberi-rating-dewasa.


"Calon korban" adalah personil band punk The Ain't Rights yang terdiri dari: Tiger (Callum Turner) sebagai vokalis, Sam (Alia Shawkat) sebagai gitaris, Pat (Anton Yelchin) sebagai bassis dan Reece (Joe Cole) sebagai drumer. Sebagai band kecil, tur mereka tak berjalan dengan baik sampai-sampai mereka harus tampil dalam sebuah klub neo-Nazi di pedalaman Oregon.

Mereka tak suka dengan ideologi orang-orang ini, tapi mereka butuh uang. Nah, apa gunanya menyandang prediket "punk" kalau tak berontak? The Ain't Rights mengkaver lagu "Nazi Punks F**k Off"-nya The Dead Kennedy yang dihadiahi dengan cibiran dan lemparan botol miras. Namun masalah sebenarnya datang selepas manggung. Mereka menyaksikan kejadian yang tak seharusnya dilihat. Kini, keempatnya terjebak dalam green room bersama seorang gadis bernama Amber (Imogen Poots). Bukan spoiler saat saya bilang banyak nyawa akan melayang.

Patrick Stewart (alias Profesor Xavier-nya X-Men) bermain menawan sebagai Darcy, pemilik klub sekaligus pemimpin para skinhead. Darcy adalah pria yang cerdas. Ia tahu cara menangani situasi dengan kepala dingin, termasuk menghilangkan kecurigaan polisi. Pembawaan tenang dengan suara halus khas Stewart justru membuatnya tampak lebih keji.

Dengan setting punk vs neo-Nazi, kita berpikir Saulnier mungkin akan menyindir dua ideologi radikal tersebut. Namun saya pikir elemen ini hanya menjadi mekanika yang dipakai untuk menyediakan protagonis dan antagonis. Para skinhead ini sudah mengambil sikap untuk melenyapkan saksi mata dengan segala cara. Komitmen ini adalah dedikasi akan ideologi mereka. "Ini bukan pesta, ini adalah pergerakan", ujar Darcy.

Untuk menciptakan ketegangan, Saulnier tentu saja memanfaatkan aspek teknis. Sinematografer Sean Porter mengambil komposisi sedemikian rupa untuk memberikan atmosfer suram. Musik berdistorsi kencang yang diputar di latar belakang atau suara feedback nyaring dari mikrofon menciptakan suasana tak mengenakkan, yang mengeskalasi nuansa klaustrofobik.

Namun kesuksesan terbesar Saulnier adalah naskahnya yang menciptakan karakter manusiawi. Bukan dalam konteks dimensi, kedalaman karakter atau semacamnya (film ini nyaris tak punya hal tersebut), melainkan bagaimana respon alamiah tiap tokoh terhadap situasi yang terjadi. Baik protagonis atau antagonis punya kesempatan berbuat atau mengambil keputusan yang salah. Konsekuensinya tak terprediksi dan permainan tarik ulur ini mencengkeram penonton.

Meski punya estetika visual ala arthouse, namun Green Room pada dasarnya adalah horor-slasher, hanya saja dengan injeksi adrenalin berkualitas. Film ini tak menawarkan eksplorasi psikologis kompleks seperti Blue Ruin. Film ini lebih dari sekedar seru. (NB: Untuk kalimat terakhir, saya hanya membuat hipotesis. Sulit menilai saat sensor lebih brutal daripada adegan brutalnya.) �UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

'Green Room' |
|

IMDb | Rottentomatoes
95 menit | Dewasa

Sutradara Jeremy Saulnier
Penulis Jeremy Saulnier
Pemain Anton Yelchin, Imogen Poots, Patrick Stewart

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Recent Post