Latest News

Adbox

Senin, 29 Februari 2016

Review Film: 'Gods of Egypt' (2016)

'Gods of Egypt' bisa dibuat menjadi video game yang bagus. Nah, pengalaman menonton filmnya kurang lebih sama seperti menyaksikan permainan tersebut. Ya, anda tak salah baca. Saya bilang "menyaksikan" bukan "memainkan".

�Then become stronger.�
� Ra
Gods of Egypt bisa dibuat menjadi video game yang bagus. Sebagai seorang mantan gamer (meski tak segandrung itu), saya bisa mengkonfirmasi hal ini. Karakter, semesta dan mitologinya relatif cocok dengan template game semacam Darksiders atau God of War. Nah, pengalaman menonton filmnya kurang lebih sama seperti menyaksikan permainan tersebut. Ya, anda tak salah baca. Saya bilang "menyaksikan" bukan "memainkan".

Separuh alasannya adalah karena banyaknya penggunaan efek CGI. Serius, menemukan satu saja adegan tanpa efek komputer dalam film ini mungkin sama sulitnya dengan menjilat sikut anda sendiri. Efek spesialnya terlihat mewah namun kebanyakan terkesan mentah. Semakin banyak polesan membuatnya tampak semakin palsu, khususnya saat adegan puncak dimana gedung-gedung beruntuhan, ledakan disana-sini sementara perspektif kamera berpindah dengan cepat. Meski begitu, bagaimana sutradara Alex Proyas membangun semestanya dengan berani tanpa tedeng aling-aling adalah hal yang harus diapresiasi. Because f**k logic.

Bisa dibilang tak ada plot yang esensial disini. Film dimulai dengan penjelasan mengenai set-up dan sedikit eksposisi karakter. Lalu berlanjut dengan adegan aksi yang satu ke aksi yang lain, dimana sebelum konfrontasi puncak dengan antagonis utama, para tokohnya harus menuntaskan berbagai tugas.


Set-up-nya adalah jaman Mesir kuno, dimana dewa dan manusia hidup berdampingan. Secara fisik, tampilan dewa ini persis dengan manusia, kecuali ukuran tubuh mereka yang lebih besar, darah yang berwarna emas, dan otot berbentuk yang membuat saya bertanya-tanya apakah dewa juga nge-gym. Trik yang cukup sulit untuk mempelihatkan interaksi langsung antara dewa yang berukuran besar dengan manusia normal. Se-absurd kedengarannya, para dewa ini juga punya kemampuan untuk berubah menjadi makhluk mecha berkilauan yang akan mengingatkan anda pada Saint Seiya.

Cerita dimulai dengan upacara penyerahan tahta Mesir oleh Dewa Osiris pada anaknya, Horus (Nikolaj Coster-Waldau) di hadapan seluruh penduduk yang saya yakin lebih dari 3/4-nya adalah kreasi CGI. Upacara ini diinterupsi dengan kedatangan saudara Osiris, Set (Gerard Butler) yang pulang dari pengasingan dan berniat untuk merebut mahkota dari tangan Horus. Ia membunuh Osiris dan membuat Horus buta.

Di bawah kekuasaan Set, rakyat dijadikan budak. Di antara mereka, ada Zaya (Courtney Eaton) yang meminta pertolongan pacarnya, Bek (Brenton Thwaites) untuk mencuri mata Horus yang disimpan di tempat rahasia, yang mengijinkan filmnya untuk menyajikan sekuen singkat ala Indiana Jones lengkap dengan jebakan tak terduganya. Sayang Zaya harus kehilangan nyawanya, sementara satu mata lagi berada di tangan Set dan ini mengantarkan alurnya pada plot standar aksi-fantasi dimana 2 tokoh utama kita: Bek dan Horus harus bersatu di atas perbedaan mereka.

Proyas jelas punya visi yang kuat. Saya berani bertaruh dunia yang dibayangkannya tak lebih inferior dibanding Dark City atau The Crow � karya-karya lamanya yang ikonik. Desain Mesir kuno-tapi-modern-nya tampak mengagumkan, khususnya saat menyoroti detil-detil kota. Imajinasi Proyas tak terbatas. Lihat saja adegan di luar orbit bumi yang melibatkan semacam bahtera yang didiami Ra (Geoffrey Rush), sang Dewa Cahaya � persetan dengan teori heliosentris � atau penggambaran dunia setelah kematian yang menampilkan Anubis. Sekuens aksi yang paling berkesan adalah saat Horus dan Bek yang dikejar oleh dua ekor ular kobra raksasa... yang bisa menyemburkan api... dan dikendarai oleh wanita psikopat.

Saya tak ingin memperdebatkan isu tentang pemainnya yang hampir sebagian besar adalah kulit putih meski filmnya sendiri ber-setting di Mesir � Proyas dan Lionsgate bahkan sampai merasa perlu untuk meminta maaf pada publik. Ini bukan dokumenter. Karena yang membuatnya adalah Hollywood, terserah mereka jika ingin memakai aktor Hollywood manapun. Bahkan, saya pikir proses produksinya akan lebih rumit seandainya menggunakan aktor lokal.

Akting para pemain tak buruk-buruk amat. Coster-Waldau bermain layaknya tipikal pahlawan utama, sementara Thwaites punya 2 tugas: (a) menjadi pemanis layar (bersama Eaton) � keduanya terlalu manis berpartisipasi di film seperti ini, dan (b) menjadi sidekick yang cerewet. Semua aktor tampaknya tahu mereka bermain dalam film seperti apa. Chadwick Boseman terlihat menikmati peran konyolnya sebagai Thoth, dewa pengetahuan yang harus menebak teka-teki dari Sphinx. Naskah dari Matt Sazama dan Burk Sharpless yang tak masuk akal berisi dengan dialog-dialog menggelikan yang lucu, entah disengaja atau tidak. Konfliknya tak pernah begitu berat, karena dewa mampu melakukan apa saja. Siapa yang bisa protes?

Catatan: film ini diberi rating 13+, padahal banyak menampilkan sesuatu (eehm, atau dua) yang saya yakin akan diblur saat tayang di TV lokal. Jadi tonton dengan risiko sendiri. �UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

'Gods of Egypt' |
|

IMDb | Rottentomatoes
127 menit | Remaja - BO

Sutradara Alex Proyas
Penulis Matt Sazama, Burk Sharpless
Pemain Nikolaj Coster-Waldau, Brenton Thwaites, Gerard Butler

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Recent Post