Review Film: &#39;Term Life&#39; (2016)

Seperti filmnya secara keseluruhan, 'Term Life' menghindari hal-hal yang menarik, lantas memilih setia pada elemen-elemen menjemukan.

�A daughter out of options. A father out of time.�

Di awal Term Life, protagonis kita Nick Barrow (Vince Vaughn) menjelaskan bahwa ia punya pekerjaan yang unik: merancang pencurian/perampokan. Nick merencanakan detilnya, namun yang mengeksekusi adalah orang lain yang membeli rancangan tersebut. Tugasnya hanyalah sebatas "desainer". Kedengarannya menarik, tapi seperti filmnya secara keseluruhan, Term Life menghindari hal-hal yang menarik, lantas memilih setia pada elemen-elemen menjemukan.

Kita tak tahu bagaimana kapabilitas Nick karena tak punya kesempatan melihatnya beraksi selain satu sekuens di awal. Namun saya berasumsi ia tak pernah gagal, setidaknya hingga rancangan terakhirnya yang mengakibatkan kliennya terbunuh setelah berhasil melakukan perampokan. Ternyata klien tersebut adalah saudara dari pimpinan kartel yang kejam, Victor Fuentes (Jordi Molla). Nick tertuduh sebagai tersangka lalu kartel memburunya. Usaha Nick untuk kabur dari kartel tampaknya belum cukup bagi penulis naskah Nick Thornborrow, sebab kasus ini juga melibatkan 3 polisi korup (Bill Paxton, Shea Whigham, Mike Epps) yang bermaksud menutupi pekerjaan kotor mereka.

Entah karena Nick sudah pasrah akan nasibnya atau Thornborrow tak dapat menemukan alasan yang masuk akal (kemungkinan yang terakhir lebih besar), Nick mengasuransikan nyawanya, dengan anak gadisnya, Cate (Hailee Steinfeld) sebagai pewaris. Namun butuh waktu 3 minggu hingga asuransi ini aktif, begitu kata agen asuransi (Taraji P. Henson). Sejak perceraiannya dengan sang istri, hubungan Nick dengan Cate tidaklah begitu mulus. Jadi ia secara teknis harus menculik Cate dan bermain kucing-kucingan dengan kartel serta polisi hingga asuransi tersebut sah.

Dengan problematika seberat itu, kita boleh berharap film ini akan bergenre thriller atau setidaknya, aksi. Alih-alih ia berusaha menjadi film neo-noir tanpa pembangunan atmosfer sama sekali. Eksekusi adegan aksinya juga tak lebih baik dari adegan di serial televisi. Ada banyak nyawa melayang, tapi cerita berjalan tanpa tensi, sementara Nick dan Cate menghabiskan waktu bersama di pasar malam sambil makan es krim. Drama ayah-anak ini menjadi satu-satunya elemen yang layak tonton.

Ada begitu banyak yang terjadi disini, namun dengan durasi yang hanya 93 menit, tak cukup waktu dan usaha yang diberikan demi mematangkan setiap subplotnya. Untuk mengisi lubang plot atau sekadar menyingkat cerita tanpa perlu repot-repot melakukan eksposisi, kita dipandu dengan narasi dari karakter Vaughn yang muncul sekenanya.

Saya sungguh ingin melihat Vaughn berhasil memainkan peran serius selain sebagai komedian. Setelah menjadi mafia kelas menengah dalam serial True Detective lalu perannya sebagai kriminal kelas teri disini, saya pikir Vaughn sulit untuk dianggap serius sebagai penjahat, terlebih dengan wig-nya yang konyol. Ekspresinya datar sepanjang film. Yang harus diapresiasi adalah bagaimana ia sebagai produser mampu mengumpulkan nama-nama tenar seperti Jonathan Banks, Jon Favreau dan Terrence Howard untuk mengisi peran minor. Talenta-talenta ini muncul sekilas dan hilang begitu saja.

Sutradara Peter Billingsley tampaknya tak tahu bagaimana harus menangani filmnya. Dalam konteks film kelas B, Billingsley tak bersenang-senang dengan materinya. Film ini mencoba begitu serius untuk menjadi film serius, namun kita tak bisa menganggapnya terlalu serius karena materinya memang tak serius-serius amat sejak awal. Berapa banyak penggunaan kata "serius" yang diijinkan dalam sebuah paragraf? Hmm, bahkan film-film teranyar yang menggelikan dari Nicholas Cage lebih seru. �UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

'Term Life' |

TEGUH RASPATI | 6 Mei 2016