Adbox

Minggu, 17 April 2016

Review Film: 'Eye in the Sky' (2016)

'Eye in the Sky' adalah permainan menunggu, tapi permainan menunggu tak pernah semenegangkan ini sebelumnya.

�Never tell a soldier that he does not know the cost of war.�
� Lt. General Frank Benson
Eye in the Sky adalah permainan menunggu, tapi permainan menunggu tak pernah semenegangkan ini sebelumnya. Dengan latar belakang mengenai aksi perang menggunakan drone, film ini lebih berfokus pada pengambilan keputusan apakah serangan drone tersebut akan diluncurkan atau tidak. Obrolan politik dan perang dengan SATU agresi militer bermodal joystick mungkin bukan premis menjanjikan, tapi sutradara Gavin Hood meracik ramuan thriller dengan komposisi suspens yang pas yang akan membuat penonton tak bisa melepaskan pandangan dari layar.

Meski ruang lingkupnya cukup besar, yaitu misi antiterorisme yang melibatkan otoritas militer dari 3 negara � Inggris, Amerika, dan Kenya � serta mengambil tempat di 4 wilayah yang berbeda pula, Eye in the Sky adalah drama karakter. Karena itu pula, setnya yang kadang terlihat murahan tak terasa mengganggu (pengecualian untuk drone unik CGI-nya yang mengambil burung kolibri dan kumbang tanduk yang tampak keren). Tak ada tokoh utama disini; porsi peran dari deretan pemainnya saling mendukung dan kuat dalam konteks masing-masing.

Film ini agak kesulitan menemukan pondasi yang pas di menit-menit awal, terlihat dari pembangunan plot yang canggung seperti adegan generik dan peralihan antarlokasi yang terlihat tak relevan. Namun saat basis naratifnya sudah tertanam, ke depannya adalah suguhan penuh tensi yang tak hentinya memacu jantung anda berdegup kencang.


Helen Mirren (terlihat tangguh dan tanpa kompromi) bermain sebagai Kolonel Katherine Powell, komandan lapangan yang memimpin misi tersebut dari markasnya di Inggris. Targetnya adalah wanita ketururunan Inggris, Ayeesha Al Shabaab (Lex King) yang bergabung dengan teroris Kenya. Pengintaian yang dilakukan dengan drone mengungkap pertemuannya dengan anggota teroris lain di daerah padat penduduk. Situasi menjadi rumit saat diketahui bahwa mereka bermaksud melakukan aksi bom bunuh diri. Misi penangkapan berubah menjadi misi pelenyapan.

Namun untuk melakukan hal tersebut, Powell harus meminta persetujuan dari atasannya, Letnan Jenderal Frank Benson (Alan Rickman, satu dari 2 penampilan terakhirnya) yang tengah berunding dengan para petinggi politik dan militer terkait. Karena misi ini adalah misi multinasional dimana Amerika lah yang memegang kendali drone, aksi ini juga harus mendapat otorisasi dari Sekretaris Negara Amerika. Jika menurut anda birokrasi selalu berbelit-belit, film ini mengkonfirmasinya. Dimaksudkan atau tidak, ada nuansa dark comedy yang tercipta dari sini. Lihat saja Menteri Dalam Negeri yang tampak ogah-ogahan dengan penampilan komikal dari Iain Glen atau Sekretaris Negara Amerika (Michael O'Keefe) yang tak begitu ambil pusing dan malah asyik bermain pingpong di Cina.

Di lain tempat, tentara Kenya sudah bersiap untuk melakukan penggerebekan, sementara di Nevada, 2 pilot drone, Steve Watts (Aaron Paul) dan Carrie Gershon (Phoebe Fox) telah siaga dengan tombol detonator di ujung jari. Namun situasi menjadi semakin kacau saat seorang anak gadis lokal tiba-tiba muncul dan berjualan roti di depan markas teroris. Peluncuran misil hampir bisa dipastikan akan membahayakan nyawanya. Meski hanya satu orang, ketika nyawa berada di ujung jarinya, tidaklah mudah bagi Watts untuk menarik pelatuk.

Seabsurd kedengarannya, sorotan utama dari film ini adalah bagaimana ribetnya proses yang harus dilewati untuk menentukan kelayakan diluncurkannya misil Hellfire oleh drone. Tujuan untuk memberangus teroris tak perlu diperdebatkan lagi (film ini sama sekali tak bersimpati pada mereka). Target militer mungkin begitu, tapi rasa kemanusiaan berkata lain. Jatuhnya korban yang tak bersalah tak bisa disepelekan begitu saja. Film ini mengajak penonton untuk memandang sendiri kompleksitas moral ini dari perspektif masing-masing.

Naskah kuat dari Guy Hibbert berisi banyak istilah birokrasi (yang untungnya mudah dimengerti) dan bagaimana Gavin Hood menjadikan setiap dialognya punya tensi tinggi patut diapresiasi. Ketegangan juga didukung oleh scoring yang intens. Hal yang jarang terjadi ketika sebuah thriller politik tak pernah memantik rasa bosan. Saat hal itu terjadi, Hood selalu siap dengan amunisi tambahan, misalnya dengan sekuens kejar-kejaran antara mata-mata lokal (Barkhad Abdi) dengan pasukan teroris.

Saya bisa saja salah, tapi saya pikir Eye in the Sky punya potensi menjadi film klasik yang akan direferensikan setiap membicarakan film mengenai perang drone. Film ini adalah film langka, dimana elemen drama sekuat elemen thriller-nya. Coba diingat-ingat, kapan terakhir kali anda dibuat sentimental hanya karena seorang anak gadis bermain hula hop? Tak pernah? �UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

'Eye in the Sky' |
|

IMDb | Rottentomatoes
137 menit | Remaja

Sutradara Gavin Hood
Penulis Guy Hibbert
Pemain Helen Mirren, Aaron Paul, Alan Rickman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Recent Post